Produsen Jepang Tercekik: Dampak Penetrasi Otomotif China di Negeri Gajah Putih

Thailand, yang telah lama menjadi benteng kokoh bagi dominasi otomotif Jepang di Asia Tenggara, kini menyaksikan fenomena yang mengkhawatirkan. Produsen Jepang tercekik oleh gelombang penetrasi agresif kendaraan listrik (EV) asal China. Situasi ini bukan sekadar persaingan biasa, melainkan sebuah perubahan seismik dalam lanskap pasar yang memaksa pemain lama untuk beradaptasi dengan sangat cepat atau menghadapi konsekuensi serius terhadap pangsa pasar dan profitabilitas mereka di Negeri Gajah Putih.

Selama beberapa dekade, merek-merek otomotif Jepang seperti Toyota, Honda, dan Isuzu telah mengakar kuat di Thailand, tidak hanya mendominasi penjualan tetapi juga membangun basis manufaktur yang luas dan rantai pasok yang solid. Namun, produsen Jepang tercekik seiring dengan masuknya EV China yang menawarkan harga sangat kompetitif, didukung oleh insentif pemerintah Thailand dan perjanjian perdagangan bebas. Konsumen kini memiliki pilihan EV yang lebih terjangkau dengan teknologi canggih, yang menyebabkan pergeseran preferensi yang signifikan.

Dampak paling nyata dari tekanan ini adalah penurunan volume produksi kendaraan konvensional dari pabrikan Jepang. Data terbaru dari Asosiasi Otomotif Thailand per Mei 2025 menunjukkan adanya tren penurunan dalam produksi beberapa model kendaraan penumpang non-listrik yang secara tradisional menjadi andalan. Selain itu, adanya perang harga yang dipicu oleh merek-merek China memaksa produsen Jepang untuk memikirkan ulang strategi harga mereka, bahkan untuk model-model yang sudah sangat populer. Hal ini secara langsung menekan margin keuntungan mereka. Sebuah laporan dari Bangkok Post pada awal Juni 2025 menyebutkan bahwa beberapa pabrik perakitan di kawasan industri Rayong dan Chonburi sedang mempertimbangkan penyesuaian jadwal kerja untuk mengelola kelebihan pasokan.

Bagi produsen Jepang tercekik, tantangan utama adalah bagaimana bertransisi ke era kendaraan listrik dengan cepat dan efisien. Meskipun banyak yang sudah memiliki model EV global, adaptasi lini produksi dan rantai pasok di Thailand membutuhkan investasi besar dan waktu. Mereka perlu menawarkan EV yang tidak hanya berkualitas tinggi tetapi juga kompetitif secara harga untuk menarik kembali konsumen. Perdebatan internal dalam perusahaan Jepang berpusat pada strategi lokalisasi EV dan bagaimana memanfaatkan basis manufaktur mereka yang sudah ada. Pertemuan antara perwakilan industri otomotif Jepang dan Kementerian Perindustrian Thailand yang diadakan pada 18 Juni 2025, membahas kemungkinan kolaborasi dan dukungan pemerintah untuk transisi ini. Masa depan produsen Jepang tercekik di Thailand akan sangat bergantung pada seberapa cepat dan efektif mereka dapat berinovasi dan beradaptasi dengan lanskap pasar yang berubah drastis ini.